Akuntabilitas Hukum Pemerintahan Daerah



Akuntabilitas Hukum Pemerintahan Daerah - Berdasarkan UU No.32 Tahun 20014 yang dirumah terakhir dengan UU No.12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta keragaman daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, maka pemerintahan daerah berkewajiban mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah baik secara hukum, politik, administrasi, program, dan lain sebagainya kepada Pemerintah dan masyarakat.

Akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dari dimensi hukum tercermin dari pola hubungan antara Pemerintah pusat dan daerah yang menganut asas desentralisasi dan otonom, kecuali oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Asas desentralisasi merupakan kontinum dari asas sentralisasi, karena kewenangan daerah otonom dalam penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan (desentralisasi) bersumber dari kewenangan (asas sentralisasi) berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan melaksanakan asas dekonsentrasi desentralisasi dan tugas pembantuan. Artinya dalam pelaksanaan desentralisasi, meskipun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat luas untuk mengembangkan daerahnya, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan pengaturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yang diatur secara yudiris formal dalam Undang-Undang tersebut (Mardianto, 2009).

Penyelnggaraan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan dimensi akuntabiitas hukum memberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah dengan tetap didasarkan pada hubungan pusat daerah atas dasar asas desentralisasi tersebut (Tjahya Supriatna, 2001). Konsekuensi logis dari penataan hubungan pusat dan daerah adalah produk hukum peraturan daerah (Perda) yang mempunyai kedudukan dan arti yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undnagan, Perda merupakan salah satu produk hukum yang hierarkinya berada di bawah Peraturan Presiden. Adapun hierarki peraturan perundang-undangan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Posisi Perda berada paling bawah dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi mempunyai kedudukan yang strategis bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan dan tugas pemerintahan daerah. Mengingat Perda merupakan kebijakan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan daerah atas dasar peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan ciri khas daerah masing-masing daerah. Selain itu, Perda mempunyai fungsi lain sebagai instrumen yudiris yang secara syah diberikan kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Penyelnggaraan urusan, tugas dan kewajiban pemerintah daerah tanpa Perda, maka kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam satuan wilayah kerjanya dapat dikategorikan tidak syah atau ilegal yang bertentangan dengan prinsip “law inforcement” dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah sehingga berdampak pada penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan pemerintah daerah.

Oleh karena itu, Perda yang mengatur Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD, Perubahan APBD dan Tata Ruang harus melalui tahapan evaluasi, oleh Pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau Peraturan Daerah lainnya. Sehubungan dengan kepentingan nasional tersebut, maka Perda dibentuk berdasarkan asas-asas sebagai berikut: a) kejelasan tujuan, b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, c) kesesuaian antar jenis dan materi muatan, d) dapat dilaksanakan, e) kedayagunaan dan kehasilgunaan, f) kejelasan rumusan, g) keterbukaan.

Sedangkan materi muatan Perda dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adaslah sebagai berikut:
1. Pengayoman, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;
2. Kemanusiaan, yaitu materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setia warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
3. Kebangsaan, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralisik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Kekeluargaan, yakni setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencpai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
5. Kenusantaraan, yakni setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;
6. Bhineka Tunggal Ika, yakni materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
7. Keadilan, yakni setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yakni setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial;
9. Ketertiban dan kepastian hukum, yakni setiap materi peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;
10. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan, yakni adanya keseimbangan, keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan negara dan bangsa.

Berdasarkan konsepsi kebijakan tersebut, akuntabilitas hukum dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang dilakukan pemerintah daerah dalam muatan materi perda, menjadi kekuatan hukum menjadi landasan yudiris formal yang sinergi dengan kebijakan pemerintah pusat, memperhatikan kepentingan publik dan menjamin kelancaran pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Daftar Pustaka
Supriatna, Tjahya, 2013, Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: IPDN.
0 Komentar untuk " Akuntabilitas Hukum Pemerintahan Daerah "