Kepemimpinan Birokrasi Publik Weberian



Kepemimpinan dalam birokrasi publik tidak lepas dari setting konstruksi birokrasi Weberian yang mensyaratkan strukturisasi organisasi yang hirarkis-otoritatif, dengan singkat formalisasi yang tinggi. Dalam hal ini posisi pimpinan sebagai strategic apex sangat vital, karena berkedudukan sebagai penanggungjawab keseluruhan organisasi. Sementara personalia birokrasi lain yang berada di layer bawahnya (para staf, manager madya, dan para pelaksana), berada dalam posisi yang terbatas untuk mengakses kegiatan pengambilan keputusan, dalam hal ini terutama adalah para pelaksana yang melakukan pekerjaan dasar yang disebut operating core yang batasan ketugasannya bersifat implementor kebijakan pimpinan belaka. Standarst Operating Prosedures sebagai manifestasi dari prinsip formalisasi yang tinggi, dibuat untuk menjamin street-level bureaucrats men-deliver alur implementasi dan/atau pelayanan publik dalam proses dan keluaran/dampak yang sesuai dengan pesan kebijakan, secara tertib dan disiplin dalam standar yang baku. Konstruksi semacam ini dibangun di atas basis asumsi bahwa semakin besar organisasi, semakin kompleks urusan yang ditangani, dan semakin statis lingkungan organisasi, maka pendekatan birokrasi yang seperti mesin (birokratik-mekanisitik) adalah yang paling efisien.

Karakteristik birokrasi semacam ini telah banyak mendapat kritik. Berkaitan dengan ekses strukturisasi dan hierarki otoritas yang berlebihan, menyebabkan timbulknya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan pimpinan birokrasi. Adapun tingkat formalisasi yang tinggi menyebabkan timbulnya kerentanan penyimpangan tujuan (goal displacement), yang menyebabkan birokrat menjadi lebi berorientasi kepada peraturan (rule driven) tinimbang mini (mission driven). Dalam hal ini elemen pimpinan dan aturan kemudian seolah menjadi satu, bahwa pimpinan adalah personifikasi dan atribut tertinggi dari sistem dan aturan, karena otoritasnya untuk memformulasikan kebijakan (aturan). Dalam hal ini pimpinan memaknai kepemilikannya terhadap sumber daya berupa otoritas dalam pembuatan kebijakan/keputusan, serta posisinya sebagai “penafsir dan penegak” nilai sebagai basis membangun ketergantungan bawahan dan organisasinya terhadap dirinya bersangkutan. Dalam tataran inilah pimpinan birokrasi mendapatkan basisi legitimasi kekuasaannya.

Sebetulnya ada mekanisme internal untuk mengontrol agar pimpinan tidak berlaku eksesif dalam sudut pandang itu, yaitu dengan adanya prinsip lain dari birokrasi Weberian yang mensyaratkan adanya impersonalitas dan pemisahan kehidupan organisasi yang jelas dari kehidupan pribadi. Namun apa yang terjadi? Pimpinan birokrasi tetap tampil dalam manifestasi sebagai penguasa organisasinya, yang memiliki privilege sampai di luar btas-batas kewenangan formalnya. Dalam kasus birokrasi publik di Indonesia, model kepemimpinan birokrasi mekanistik-weberian tersebut beririsan dengan faktor kultural yang memang sudah paternalistik.

Kesimpulan disikusi awal ini mengantarkan kita kepada sebuah pernyataan bahwa konsepsi kepemimpinan, manajerialisme, dan kekuasaan pada birokrasi publik, merupakan tiga wajah yang berwujud dalam satu persen yang menduduki suatu jabatan. Sehingga selanjutnya dalam tulisan ini istilah pemimpin akan merujuk pada posisi strategix apex dalam struktur birokrasi publik.

Dengan memperhatikan rumusan diskusi di atas, maka sudah sangat tepat bila kita memikirkan bagaimana caranya mengkonstruksinya ulang kepemimpinan birokrasi publik. Karena tidak dapat dipungkiri bila kepemimpinan birokrasi publik dibiarkan dalam bentuk profil seperti itu, maka akan menjadi halangan untuk mencapai efektivitas dari kepemimpinan itu sendiri. Apalagi organisasi birokrasi publik tidaklah dapat dibayangkan lagi seperti organisasi birokratik-mekanistik ala Weberian, yang beroperasi seolah-olah dalam ruang serta lingkungan yang statis. Oleh karena itu, ada baiknya bila mencermati kemungkinan alternatif kepemimpinan birokrasi publik lainnya, yang bisa jadi akan lebih efektif, seperti misalnya pendekatan kepemimpinan yang melayani.

Daftar Pustaka
Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, 2010, Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gawa Media.

0 Komentar untuk " Kepemimpinan Birokrasi Publik Weberian "