Salah satu masalah mendasar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi ialah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik dan sistem pemerintahan pada umumnya. Setelah melihat bahwa birokrasi public selama ini hanya dijadikan sebagai alat politik bagi rejim yang berkuasa, rakyat kini sulit menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat, atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi public. Karena itu tugas pokok para pembuat keputusan dalam beberapa tahun setelah gerakan reformasi adalah memperoleh kembali kepercayaan masyarakat seraya membuktikan bahwa seluruh proses politik dan pembuatan kebijakan yang terjadi akan memberi keuntungan bagi rakyat. Dengan kata lain, akuntabilitas birokrasi publik akan menjadi titik krusial bagi arah perkembangan demokrasi di Indonesia.
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksketif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Dengan bahasa yang sederhana, Starling (1998:164) mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik.
“A good synonym for the term accountability is answerability. An organization must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately, a frequently heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing blame is difficult”.
Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses atau sistem akuntabilitas bagi lembaga pemerintah atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Ferlie et al (1997:202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas, yakni akuntabilitas ke atas (accountability up wards), akuntabilitas kepada staff (accountability to staff) akuntabilitas ke bawah (accountability downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri (self accountability). Dua model akuntabilitas pertama sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan konsep-konsep tentang kontrol, pengawasan atau pengendalian di dalam birokrasi publik. Kemudian konsep accountability downwards terkait dengan konsep demokrasi partisipatif, bahwa aktivitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan yang erat proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat lokal. Sedangkan konsep market-based forms of accountability mengutamakan adanya kompetisi dan mekanisme pasar yang memungkinkan rakyat memiliki pilihan lebih banyak terhadap kualitas pelayanan yang dikehendakinya. Pemerintah harus mampu memperluas alternative penyedia pelayanan publik serta menunjang informasi atau menetapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik di dalam pelayanan publik. Kemudian juga terdapat konsep self-accountability yang pada dasarnya merupakan proses akuntabilitas internal yang sangat tergantung kepada penghayatan mengenai nilai-nilai moral atau etika para pejabat birokrat yang melaksanakan tugas pelayanan publik.
Berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik, Denhardt (1998:18) mengatakan bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas di satu pihak menyebutkan tentang pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggung jawaban tersebut. Dari sini muncul banyak pakar dengan preskripsi tentang berbagai standar professional dalam organisasi publik, dan juga terdapat pakar yang mengembangkan kaidah-kaidah etika standar pelaksanaan pekerjaan secara professional. Sebagian penulis melihat pentingnya keterlibatan legislative di dalam proses administrative, sedangkan penulis lain lebih banyak melihat pentingnya mekanisme partisipasi publik di dalam proses administrative seperti yang terwujud dalam opini publik serta kegiatan masyarakat lainnya.
Untuk membangun basis yang kuat bagi demokrasi, partisipasi rakyat, keadilan dan pemerataan pembangunan dan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal yang berbeda-beda. Pemerintah daerah kini mendapat otonomi yang lebih luas dalam membiayai pembangunan daerah berdasarkan prioritas anggaran mereka sendiri. Dengan demikian, diharapkan bahwa akan lebih terbuka ruang bagi aparat di daerah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan berdasarkan kebutuhan yang senyatanya. Tetapi, mengingat bahwa pada dasarnya belum banyak terdapat perubahan di dalam latar belakang budaya, pola berpikir dan pola bertindak di antara para birokrat di daerah sedangkan sumber daya manusia yang ada di dalamnya masih relatif sama, maka pertanyaan mengenai sistem pertanggungjawaban atau akuntabilitas pada tingkat pemerintah daerah masih tetap sama: Apakah implementasi dan ketentuan perundang-undangan yang baru itu akan mampu memperbaiki kualitas pelayanan publik di daerah?
Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepentingan publik atau pelayanan publik secara umum. Sebagian besar pejabat tatau birokrat itu selama ini menempatkan dirinya dalam posisi sebagai penguasa (authorities) dan masih sangat terbatas pejabat yang menyadari peranannyasebagia penyedia layanan kepada masyarakat (public servant/service provider). Budaya paternalistic seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Budaya semacam ini mengakibatkan kecenderungan untuk memberikankeistimewaaan kepada para elit birokrat atau orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan mereka.
Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dan apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Sistemadministrasi publik dan mekanisme politik yang berlaku ternyata gagalmenjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya. Setelah rejim orde baru turun, terdapat keinginan yang kuat dari berbagai elemen masyarakatuntuk memelihara netralitas birokrasi. Namun tanpa kontrol dan sistemakuntabilitas yang cukup kuat, senantiasa terdapat kemungkinan bahwa aparat birokrasi akan merumuskan dan melaksanakan kebijakan, melaksanakan aktivitas pelayanan publik hanya berdasarkan kepentingan sempit (vested interests) dari elit atau para penguasa.
Daftar Pustaka:
Kumorotomo, Wahyudi, 2008, Akuntabilitas Birokrasi Publik – Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksketif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Dengan bahasa yang sederhana, Starling (1998:164) mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik.
“A good synonym for the term accountability is answerability. An organization must be answerable to someone or something outside itself. When things go wrong, someone must be held responsible. Unfortunately, a frequently heard charge is that government is faceless and that, consequently, affixing blame is difficult”.
Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses atau sistem akuntabilitas bagi lembaga pemerintah atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Ferlie et al (1997:202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas, yakni akuntabilitas ke atas (accountability up wards), akuntabilitas kepada staff (accountability to staff) akuntabilitas ke bawah (accountability downwards), akuntabilitas yang berbasis pasar (market-based forms of accountability) dan akuntabilitas kepada diri sendiri (self accountability). Dua model akuntabilitas pertama sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan konsep-konsep tentang kontrol, pengawasan atau pengendalian di dalam birokrasi publik. Kemudian konsep accountability downwards terkait dengan konsep demokrasi partisipatif, bahwa aktivitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan yang erat proses konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat lokal. Sedangkan konsep market-based forms of accountability mengutamakan adanya kompetisi dan mekanisme pasar yang memungkinkan rakyat memiliki pilihan lebih banyak terhadap kualitas pelayanan yang dikehendakinya. Pemerintah harus mampu memperluas alternative penyedia pelayanan publik serta menunjang informasi atau menetapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik di dalam pelayanan publik. Kemudian juga terdapat konsep self-accountability yang pada dasarnya merupakan proses akuntabilitas internal yang sangat tergantung kepada penghayatan mengenai nilai-nilai moral atau etika para pejabat birokrat yang melaksanakan tugas pelayanan publik.
Berkenaan dengan upaya menjamin akuntabilitas di dalam birokrasi publik, Denhardt (1998:18) mengatakan bahwa pada umumnya literatur mengenai akuntabilitas di satu pihak menyebutkan tentang pentingnya kualitas subjektif, berupa rasa tanggung jawab para pejabat publik dan di lain pihak banyak yang menyebutkan pentingnya kontrol struktural untuk menjamin pertanggung jawaban tersebut. Dari sini muncul banyak pakar dengan preskripsi tentang berbagai standar professional dalam organisasi publik, dan juga terdapat pakar yang mengembangkan kaidah-kaidah etika standar pelaksanaan pekerjaan secara professional. Sebagian penulis melihat pentingnya keterlibatan legislative di dalam proses administrative, sedangkan penulis lain lebih banyak melihat pentingnya mekanisme partisipasi publik di dalam proses administrative seperti yang terwujud dalam opini publik serta kegiatan masyarakat lainnya.
Untuk membangun basis yang kuat bagi demokrasi, partisipasi rakyat, keadilan dan pemerataan pembangunan dan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal yang berbeda-beda. Pemerintah daerah kini mendapat otonomi yang lebih luas dalam membiayai pembangunan daerah berdasarkan prioritas anggaran mereka sendiri. Dengan demikian, diharapkan bahwa akan lebih terbuka ruang bagi aparat di daerah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pembangunan berdasarkan kebutuhan yang senyatanya. Tetapi, mengingat bahwa pada dasarnya belum banyak terdapat perubahan di dalam latar belakang budaya, pola berpikir dan pola bertindak di antara para birokrat di daerah sedangkan sumber daya manusia yang ada di dalamnya masih relatif sama, maka pertanyaan mengenai sistem pertanggungjawaban atau akuntabilitas pada tingkat pemerintah daerah masih tetap sama: Apakah implementasi dan ketentuan perundang-undangan yang baru itu akan mampu memperbaiki kualitas pelayanan publik di daerah?
Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepentingan publik atau pelayanan publik secara umum. Sebagian besar pejabat tatau birokrat itu selama ini menempatkan dirinya dalam posisi sebagai penguasa (authorities) dan masih sangat terbatas pejabat yang menyadari peranannyasebagia penyedia layanan kepada masyarakat (public servant/service provider). Budaya paternalistic seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Budaya semacam ini mengakibatkan kecenderungan untuk memberikankeistimewaaan kepada para elit birokrat atau orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan mereka.
Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dan apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Sistemadministrasi publik dan mekanisme politik yang berlaku ternyata gagalmenjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya. Setelah rejim orde baru turun, terdapat keinginan yang kuat dari berbagai elemen masyarakatuntuk memelihara netralitas birokrasi. Namun tanpa kontrol dan sistemakuntabilitas yang cukup kuat, senantiasa terdapat kemungkinan bahwa aparat birokrasi akan merumuskan dan melaksanakan kebijakan, melaksanakan aktivitas pelayanan publik hanya berdasarkan kepentingan sempit (vested interests) dari elit atau para penguasa.
Daftar Pustaka:
Kumorotomo, Wahyudi, 2008, Akuntabilitas Birokrasi Publik – Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
0 Komentar untuk " Akuntabilitas Birokrasi Publik Kumorotomo "