Filsafat Ilmu Pemerintahan



Sebagai salah satu cabang ilmu baru yang sedang berkembang karena semakin fungsional untuk mengkritisi kinerja pemerintahan, obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan belum tergali secara mendalam dan menyeluruh hingga menjadi sangat jelas obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan yang dimaksud. Kendatipun sudah ada pengantar-pengantar serta kajian-kajian yang terarah untuk menggali obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan; namun pengantar dan kajian tersebut belum menghasilkan ketepatan dan kejelasan deskripsi obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan secara utuh.

Pendekatan Ilmu Pemerintahan menjadi tidak menonjol karena penggalian obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintan belum mendalam dan menyeluruh. Penggalian obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan yang dinamis dan progresif perlu dilakukan secara terus menerus dengan membuka wawasan seluas-luasnya. Metodologi penggalian obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan antara lain dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat ilmu yang dilakukan dengan menyingkirkan arogansi otoritas keilmuan. Dalam konteks inilah maka penggalian secara mendalam dan terus menerus terhadap obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan menjadi kewajiban moral bagi setiap insan yang berkiprah dalam pengembangan Ilmu Pemerintrahan.

Filsafat dalam bahasa Inggris, disebut philosophy, adalah istilah filsafat yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Istilah ini terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. (Muthahhari, 2002).

Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).

Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya. (Takwin, 2001).

Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan yakni (1) Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika; (2) Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika; (3) Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama; dan (4) Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi. (Takwin, 2001).

Beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah (1) Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas; (2) Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata; (3) Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya; (4) Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; dan (5) Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk menyatakan apa yang kita lihat. (Muthahhari, 2002).

Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.

Dengan uraian pendekatan filsafat yang dikemukakan maka Ilmu Pemerintahan dapat digali, diolah dan dikemas menjadi suatu disiplin ilmu dengan pendekatan filsafat ilmu. Dalam kontek ini, Jujun Suriasumantri (2005:33-34) memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistomologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut :

Kelompok pertanyaan pertama antara lain : Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tanggap manusia? (Ontologi)
Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang dimaksud kebenaran? (Epistomologi)
Kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? (Aksiologi)
Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistomologis. Dan pertanyaan-pertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.

Tinjauan Ilmu Pemerintahan secara ontologis kini sangat diperlukan, karena obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan belum tergali secara luas dan mendalam. Tinjauan Ilmu Pemerintahan secara ontologis tidak hanya akan memperjelas obyek dan karakteristik Ilmu Pemerintahan; namun sekaligus juga memperjelas fungsi dan arah penerapan Ilmu Pemerintahan. Dengan tinjauan ontologis yang terus menerus, maka obyek dan karakteristik Ilmu pemerintahan akan semakin jelas dan mendalam sesuai dengan realitas obyek dan subyek pemerintahan yang bersifat dinamis.

0 Komentar untuk " Filsafat Ilmu Pemerintahan "