Pelayanan narapidana dipengaruhi oleh konsep tujuan diadakannya pidana. Mengenai hal ini lazimnya dikenal teori pembalasan (Staf rechs theorieen) yang terdiri atas teori pembalasan atau absulute theorieen, teori tujuan atau doeltheorieen dan teori gabungan atau evereningingstheorieen (Poernomo, 1992 : 27).
Teori pembalasan ini dikenal akhir abad ke – 18 dan yang mempunyai pengikut-pengikut dengan jalan pikirannya masing-masing seperti Immanuel Kant, Hegel, Hebert dan Stahl. Pada dasarnya aliran pembalasannya dibedakan atas corak subjektif (subjective vergelding) yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak onjektif (objective vergelding) yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan. Kant mempunyai jalan pikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka ia harus dibalas dengan ketidakadilan pula. Karena pidana itu tuntutan mutlak dari hukum dan kesusilaan, jalan pikiran ini melahirkan teori absolut dan dasar kesusilaan yang dipegang teguh itu dapat dinamakan “ de Ethische Vergeldingstheorie”. Hegel mempunyai jalan pikiran bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apabila orang melakukan kejahatan itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau keadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Cara berpikir yang demikian ini adalah dialektis sehingga teorinya dinamakan “ de Dialectische Vergeldingstheorie”. Herbert mempunyai jalan pikiran bahwa apabila orang melakukan kejahatan berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat.
Dalam hal terjadi kejahatan maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana, sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini menggunakan pokok pangkal aesthetica, maka teorinya dinamakan “ de Aesthitische Vergeldingstheorie”. Stahl mempunyai jalan pkiran bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya dalam menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia ini. Kepada penjahat itu harus dijatuhi pidana, agar ketertiban hukum itu dipulihkan kembali. Menurut Vos teori pidana seperti digambarkan oleh Stalh dan Kant itu merupakan teori pembalasan subjektif (subjectieve vergelding) dan untuk pendapat Herbert dimasukkan dalam teori pembalasan objektif (objectieve vergelding) sedangkan pendapat dari Hegel dimasukkan dalam teori pembalasan subjektif yang objektif (de objectieve als aan de subjectieve vergelding). Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang diajukan oleh Leo Polak bahwa harus mempunyai tiga syarat, pertama bahwa perbuatan yang tercela itu harus bertentangan dengan etika, kedua bahwa pidana itu tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan terjadi (prevensi) melainkan hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi, dan ketiga bahwa penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil berarti beratnya pidana harus seimbang / tidaj kurang tetapi juga tidak lebih dengan beratnya delik “verdiend leed”. Teori Leo Polak itu dikenal dengan “ het leer der objectieve betreurensswaardigheid atau objectieveringstheorie” (Van Bummelen dalam Poernomo, 1992: 28).
Teori pembalasan ini dikenal akhir abad ke – 18 dan yang mempunyai pengikut-pengikut dengan jalan pikirannya masing-masing seperti Immanuel Kant, Hegel, Hebert dan Stahl. Pada dasarnya aliran pembalasannya dibedakan atas corak subjektif (subjective vergelding) yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak onjektif (objective vergelding) yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan. Kant mempunyai jalan pikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka ia harus dibalas dengan ketidakadilan pula. Karena pidana itu tuntutan mutlak dari hukum dan kesusilaan, jalan pikiran ini melahirkan teori absolut dan dasar kesusilaan yang dipegang teguh itu dapat dinamakan “ de Ethische Vergeldingstheorie”. Hegel mempunyai jalan pikiran bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apabila orang melakukan kejahatan itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau keadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Cara berpikir yang demikian ini adalah dialektis sehingga teorinya dinamakan “ de Dialectische Vergeldingstheorie”. Herbert mempunyai jalan pikiran bahwa apabila orang melakukan kejahatan berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat.
Dalam hal terjadi kejahatan maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana, sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini menggunakan pokok pangkal aesthetica, maka teorinya dinamakan “ de Aesthitische Vergeldingstheorie”. Stahl mempunyai jalan pkiran bahwa Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya dalam menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia ini. Kepada penjahat itu harus dijatuhi pidana, agar ketertiban hukum itu dipulihkan kembali. Menurut Vos teori pidana seperti digambarkan oleh Stalh dan Kant itu merupakan teori pembalasan subjektif (subjectieve vergelding) dan untuk pendapat Herbert dimasukkan dalam teori pembalasan objektif (objectieve vergelding) sedangkan pendapat dari Hegel dimasukkan dalam teori pembalasan subjektif yang objektif (de objectieve als aan de subjectieve vergelding). Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang diajukan oleh Leo Polak bahwa harus mempunyai tiga syarat, pertama bahwa perbuatan yang tercela itu harus bertentangan dengan etika, kedua bahwa pidana itu tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan terjadi (prevensi) melainkan hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi, dan ketiga bahwa penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil berarti beratnya pidana harus seimbang / tidaj kurang tetapi juga tidak lebih dengan beratnya delik “verdiend leed”. Teori Leo Polak itu dikenal dengan “ het leer der objectieve betreurensswaardigheid atau objectieveringstheorie” (Van Bummelen dalam Poernomo, 1992: 28).
0 Komentar untuk " Teori Pelayanan Narapidana "