Efektivitas Pemungutan Pajak - Dalam rangka mencapai penerimaan dari sektor pajak yang optimal, menurut Devas (1989:143), pajak itu harus mencapai atau memberikan, “Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)”. Menurut Ikhsan dan Salomo (2002 :120) :
Pada dasarmya efektivitas digunakan untuk menunjukan suatu keberhasilan suatu usaha atau kegiatan dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas pemungutan pajak dengan demikian merupakan gambaran dari kemampuan organisasi pemungut pajak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yakni jumlah penerimaan pajak yang telah direncanakan. Dengan demikian efektivitas pajak (Tax Effectiveness) merupakan ukuran yang dapat dipergunakan untuk menilai administrasi perpajakan daerah secara keseluruhan.
Menurut Sidik (dalam Ikhsan dan Salomo, 2002 :120), tax effectiveness tidak lain merupakan perbandingan antara penerimaan pajak aktual (penerimaan pajak yang sebenarnya, aktual yield). Ukuran efektivitas pemungutan pajak daerah ini pada dasarnya dapat digunakan untuk menganalisis efektivitas pemungutan pajak secara nasional, seperti total penerimaan pajak nasional, total penerimaan jenis pajak secara nasional, total penerimaan pajak regional serta total penerimaan pajak secara regional. Secara oprasional efektivitas pajak dapat dihitung dengan mengunakan rumus Tax perfomance index (TPI), yakni hasil bagi antara realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak. Semakin besarnya angka TPI menunjukkan semakin efektifnya pemungutan pajak dikaitkan dengan sasaran atau target yang akan diperoleh. Beberapa kegiatan dalam administrasi perpajakan daerah yang perlu dianalisis perfomancenya dalam rangka penerimaan pajak daerah diantaranya adalah pencairan tunggakan, penetapan, penerapan sanksi, pemeriksaan, pengusutan, penagihan dan collection ratio. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan identifikasi potensi setiap jenis pajak agar kebijakan collection ratio tidak hanya sesuai dengan potensi pajak namun juga dapat direalisasikan melalui penerapan suatu sistem manajemen pengelolaan sumber-sumber penerimaan pajak. Dalam konteks ini, menurut Sumitro (dalam Munawir, 1998 : 3) :
Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (tegen prestise) dari negara yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publik uitgaven).
Dengan demikian pajak menjadi salah satu sumber pembiayaan publik, yaitu anggaran yang dikelola oleh pemerintah. Sebagian anggaran tersebut digunakan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka memenuhi kewajiban negara terhadap hak warga negara. Pemenuhan kewajiban ini juga harus dilakukan oleh daerah, karena menurut Djajadiningrat (dalam Munawir, 1998 : 4) :
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.
Senada dengan pendapat di atas, Sumitro (1990 : 3) mengatakan pajak ialah iuran kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintahan) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbal (kontra pretasi) yang langsung dapat ditujukan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum, dan yang digunakan sebagai alat atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Soemahamidjaja (1990 : 3) yang mengatakan bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Bila ditinjau dari sisi kinerja pengelolaan pajak, menurut Smeets (dalam Pudyamiko, 2002 : 4), pajak merupakan prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma hukum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Pandangan Smeets ini menonjolkan adanya fungsi budgeter dari pajak, yakni untuk memasukan uang ke kas Negara.
Karena itu, pemungutan pajak harus dilakukan secara efektif. Dalam konteks ini, Sidik (dalam Ikhsan dan Salomo, 2002 :120) menjelaskan :
Tax Effectiveness secara tidak langsung juga menunjukan seberapa besar keberhasilan daerah dalam mengumpulkan pajak dari potensi yang dimilikinya. Semakin kecil selisih antara penerimaan pajak yang sebenarnya dengan potensi pajak yang ada maka berarti semakin efektiflah administrasi perpajakan daerah. hal tersebut juga meninjukan bahwa semua potensi pajak yang ada dapat dipungut seluruhnya. Selain itu tingginya angka tax effectiveness juga menunjukan kecilnya tunggakan pajak dan penghindaran pajak oleh si wajib pajak. Ukuran untuk menilai kemampuan administrasi perpajak dalam menggali dan merealisasikan potensi penerimaan pajak yang ada dinamakan dengan rasio efisiensi administrasif (administrasive efficiency ratio atau AER). Pengukuran potensi pajak dengan menggunakan AER tersebut dapat di terapkan baik dari segi penerimaan , dari segi jumlah wajib pajak , maupun dari segi objek pajak.
Keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam menggerakkan faktor-faktor yang turut menentukan keberhasilan tersebut. Pandangan seperti ini perlu dipertimbangkan karena sesungguhnya terdapat suatu fenomena hubungan kausalitas antara kebijakan pemerintah daerah di bidang perekonomian, terutama kebijakan keuangan, dengan kondisi dinamis perekonomian masyarakat. Kondisi dinamis perekonomian masyarakat inilah yang menjadi sumber penerimaan pajak. Guna memahami potensi penerimaan pajak ini, Davey (1988 : 40) mengatakan :
Untuk menilai potensi pajak sebagai penerimaan daerah diperlukan kriteria”. Ini dimaksudkan bahwa penggalian potensi sumber-sumber pendanaan yang pada umumnya berupa perpajakan harus didasarkan atas kriteria tertentu agar penggalian potensi sumber-sumber pendanaan serasi, seimbang dan terpadu. Ada lima kriteria penilaian yaitu : kecukupan dan elastisitas; keadilan; kemampuan administratif; kesepakatan politis; administratif pajak daerah.
Dalam konteks itu, seseorang atau suatu badan usaha baru bisa dikatakan “dengan sukarela ia memenuhi kewajiban pajaknya” apabila ia sendiri mempunyai kemampuan lebih untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Tetapi sebaliknya, apabila kenyataan menunjukan bahwa ternyata pendapatan seseorang tidak layak untuk dikurangi pajak penghasilan dan daya belinya melemah karena harga-harga meninggi, atau keuntungan suatu badan usaha tidak memadai untuk memenuhi kewajiban pajak perusahaan, maka logikanya sumber-sumber penerimaan Pajak Daerah semakin berkurang. Kondisi ini bisa diatasi apabila strategi kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor-sektor perekonomian daerah dapat menjadi faktor pendukung bagi meningkatnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penerimaan PAD kemudian dialokasi untuk membiaya pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pelayanan publik yang terarah untuk juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Agar pajak sebagai penyerahan sebagian dana dari sektor swasta ke sektor negara mencapai sasarannya, maka di dalam pelaksanaannya harus memperhatikan beberapa asas, agar selalu mengacu kepada kepentingan umum atau kepentingan yang lebih luas. Dalam konteks ini, Suparmoko (2000 : 6) menjelaskan :
Pajak mempunyai fungsi sebagai sumber keuangan negara (budgetary) dan sebagai pengatur (regulatory). Fungsi sebagai budgetary adalah pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan pemerintahan, terutama kegiatan-kegiatan rutin. Fungsi pajak sebagai regulatory adalah sebagai pengatur perekonomian guna menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengadakan redistribusi pendapatan serta stabilisasi ekonomi.
Dengan fungsi pajak yang demikian itu, maka pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang efektif dan efisien. Asas-asas pemungutan pajak menurut Smith dalam Waluyo (2000 : 5) adalah sebagai berikut :
- Equity. Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.
- Certainty. Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang, oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran.
- Pay as you earn. Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, contoh pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan.
- Economy. Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.
Karena pemungutan pajak menurut Soemitro (1986:8) merupakan pengalihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk, maka disyaratkan bahwa pajak, sebelum diberlakukan harus mandapatkan persetujuan dari rakyat terlebih dahulu. Persetujuan oleh rakyat yang dimaksudkan adalah bahwa kebijakan pemungutan pajak yang disetujui oleh DPR atau DPRD untuk pajak daerah. Selanjutnya adalah bagaimana mengimpkementasikan kebijakan pemungutan pajak tersebut secara efektif. Menurut Ikhsan dan Salomo (2002 :122) :
Besar kecilnya angka Tax effectiveness secara teoritis di pengaruhi oleh beberapa faktor. Penghindaran pajak jelas dapat menyebabkan kecilnya penerimaan pajak, karena pajak yang seharusnya di terima oleh daerah menjadi tidak dapat di terima. Akibatnya tidak seluruh potensi pajak yang dapat tergali. Penghindaran pajak dapat berupa penghindaran pajak yang tidak melanggar hukum (legal), yang dinamakan tax avoidance, dan penghindaan pajak yang melanggar hukum (ilegal), yang di namakan dengan tax evasion. Penghindaran pajak yang tidak melanggar hukum dilakukan oleh wajib pajak dengan cara mencari celah-celah kelemahan dari undang-undang atau peraturan-peraturan perpajakan. Dengan memafaatkan kelemahan-kelemahan aturan perpajakan tersebut maka penghindaran pajak yang di lakukannya tidak dapat di kategorikan sebagai suatu pelanggaran hukum. Bagi suatu perusahaan, upaya penghindaran pajak yang tidak melanggar hukum ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan melakukan integrasi vertikal (vertical integration) dari hulu sampai ke hilir atas suatu aktifitas usaha demi menghindari pemungutan pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai barang atau jasa, melakukan marger atau melakukan akuisisi atas beberapa perusahaan untuk menghindari pajak penghasilan perusahaan dan berbagai pajak bea materai dan sebagainya.
Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemungutan pajak itu, maka setiap daerah harus cermat dalam memberlakukan kebijakan perpajakan. Dalam hal ini (Davey, 1988 : 101) mengatakan :
Dalam beberapa hal Pemerintah Regional dibenarkan oleh undang-undang atau peraturan memungut, menaksir atau mengumpulkan pajak pendapatan, bersifat pararel akan tetapi berbeda dengan pajak pendapatan nasional. Secara keseluruhan pembagian administrasi pajak dan perhitungan yang dipakai atas kekayaan di daerah tidak sama dengan pengenaan, pembebasan atau keringanan yang diberikan kepada perorangan untuk tingkat nasional.
Menurut Davey (1983:32), secara teoritis, perpajakan daerah mencakup beberapa berbagai jenis pajak, baik pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri, pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan nasional namun penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah, pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah, serta yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasilnya dibagihasilkan kepada pemerintah daerah atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.
0 Komentar untuk " Efektivitas Pemungutan Pajak "