Penerapan Teori Dalam Penyusunan Proposal Penelitian



Teori adalah hasil penalaran logik terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu yang dirangkum menjadi suatu konsep gagasan, pandangan, sikap dan atau cara-cara yang pada dasarnya menguraikan nilai-nilai dan tujuan tertentu yang teraktualisasi dalam proses hubungan situasional, hubungan kondisional, atau hubungan fungsional di antara hal-hal yang terekam dari fenomena atau realitas tersebut; dan hasil penalaran tersebut dapat diterima khalayak sebagai suatu disiplin ilmu.

Fungsi Teori dalam penyusunan Proposal Penelitian, Tesis dan Disertasi adalah
  1. Sebagai Pengantar Pemahaman Variabel Penelitian
  2. Landasan Teoritis Penyusunan Konsep Penelitian
  3. Rujukan Pembahasan Hasil Penelitian
Masalah yang muncul manakala Kandidat mulai penyusunan Proosal Penelitian adalah keterbatasan pengetahuan tentang cara praktis mengolah teori dan menerapkan fungsi teori dalam penyusunan Proposal Penelitian. Keterbatasan pengetahuan ini menyebabkan Kandidat sulit menyusun suatu konsep penelitian yang jelas dan terstruktur. Kesulitan yang demikian itu muncul karena Kandidat sulit menemukan teori yang relevan dan fungsional bagi penyusunan suatu konsep penelitian, penempatan fungsi teori yang tidak tepat, dan hasil kajian teori yang tidak jelas hasilnya. Misalnya, sulit menemukan teori yang relevan untuk mengungkapkan karakteristik obyek atau variabel penelitian; penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian yang diramaikan dengan kutipan teori-teori; teknis pengutipan teori yang kurang cermat, dan tidak jelas teori yang dijadikan landasan teoritis penyusunan konsep penelitian. Kesulitan menemukan teori yang relevan dan fungsional muncul apabila Kandidat memilih obyek atau variabel penelitian yang memang belum ada teorinya. Karena itu, sebaiknya tidak memilih obyek atau variabel penelitian yang tidak jelas rujukan teorinya.

Masalah penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian yang diramaikan dengan kutipan teori adalah penempatan fungsi teori yang tidak tepat. Alasannya, teori itu bukan obyek penelitian. Karena fungsi Sub Bab Latar Belakang penelitian adalah untuk mengungkapkan suatu fenomena yang dijadikan obyek penelitian, maka yang perlu dideskripsikan adalah data faktual yang menyatakan fenomena; bukan mendeskripsikan teori-teori untuk menyatakan fenomena. Artinya, penempatan fungsi teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian tidak tepat. Mungkin ada pembenaran terhadap penempatan teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian, namun pembenaran itu justru memperlemah langkah awal Kandidat dalam membangun suatu konsep gagasan. Mengapa dikatakan demikian, karena konsep gagasan yang dibangun itu tidak berasal dari pemikiran logik Kandidat terhadap fenomena, tetapi berasal dari pemikiran teoritis. Konsep gagasan itu sebaiknya dibangun secara murni berdasarkan kekuatan penalaran logik terhadap hal-hal yang dikritisi.

Masalah teknis pengutipan teori yang kurang cermat muncul apabila Kandidat kurang memahami ketentuan teknis pengutipan teori. Teknis pengutipan teori ini mencakup penyebutan nama nara sumber, tahun penerbitan buku dan halaman pengukutipan serta tata cara penempatan kutipan teori. Masalah ini dapat segera diatasi dengan mempelajari panduan teknis pengutipan teori, termasuk penyusunan daftar pustaka, yang diterbitkan oleh masing-masing program.

Masalah pokok dalam proses penerapan fungsi teori adalah sulit menemukan teori-teori yang secara struktural dapat dijadikan landasan teoritis untuk penyusunan definisi konseptual variabel penelitian, dimensi-dimensi kajian dan indikator-indikator penelitian yang dapat merepresentasikan karakteristik obyek penelitian. (Olalaah piye toh mbah, kulo juga mboten ngertos carane ngolah teori, mbok yaow memang ndak ada tuh pelajaran teori mengolah teori untuk menyusun proposal penelitian!)

Penggunakan teori secara mutlak menurut apa adanya teori adalah salah satu masalah yang mungkin dihadapi Kandidat. Penggunaan teori seperti ini biasanya timbul dari kalangan pemegang otoritas yang masih berpandangan konservatif. Terhadap obyek atau variabe-variabel tertentu pemaksaan teori itu mungkin dapat diterima, karena rujukan teori untuk itu memang dapat merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail (secara struktural teori dapat menunjukkan pemahaman konseptual, dimensi-dimensi kajian yang tercakup dalam pemahaman konseptual, dan indikator-indikator penelitian pada masing-masing dimensi kajian).

Namun kenyataannya sulit menemukan teori yang dapat merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail. Pada umumnya teori-teori hanya bisa menunjukkan hal-hal yang dapat dijadikan dimensi-dimensi kajian saja. Indikator-indikator penelitian yang tercakup dalam penjabaran dimensi-dimensi kajian lebih banyak diciptakan atau ditemukan sendiri oleh Kandidat.

Mengapa demikian, karena teori-teori yang tercakup dalam disiplin ilmu-ilmu non eksata cenderung tidak bersifat universal. Karena cenderung tidak bersifat universal, maka teori-teori yang tercakup dalam ilmu-ilmu non eksata, terutama rumpun ilmu politik dan ilmu sosial, tidak dapat dipaksakan untuk sepenuhnya dijadikan instrumen penggalian berbagai indikator yang tercakup dalam suatu obyek atau variabel penelitian yang mempunyai karakter tersendiri.

Misalnya, obyek atau variabel Rumah Orang Kaya tentu mempunyai tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang yang sangat berbeda dengan tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang pada variabel Rumah Orang Miskin. Meskipun kedua obyek tersebut sama-sama rumah, namun karakteristik masing-masing rumah tentu sangat berbeda. Jadi tidak relevan menggunakan pendekatan teori rumah orang kaya untuk menilai obyek rumah orang miskin. Disamping itu ada keterbatasan jangkauan fungsi teori.

Sebagai misal, George R. Terry, Hennry Fayol dan pakar-pakar sosiologi lainnya memang menunjukkan fungsi-fungsi manajemen yang agak berbeda, namun fungsi-fungsi manajemen yang ditunjukan mereka itu masih bersifat umum. Ketika teori mereka itu dipakai untuk menyusun konsep operasional variabel Manajemen Warteg, maka dari mereka itu kita hanya bisa mengambil fungsi-fungsi manajemen untuk ditetapkan menjadi dimensi-dimensi kajian.

Fungsi-fungsi yang dimaksud seperti fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pengawasan (controling), fungsi penggerakan (directing), dan fungsi pelaporan (reporting). Pengambilan fungsi-fungsi itu pun harus disesuaikan dengan karakteristik Manajemen Warteg. Misalnya, fungsi organizing kurang relevan untuk dijadikan salah satu dimensi kajian, karena Manajemen Warteg menganut pola pengorganisasian yang tidak terstruktur dan non formal.

Selanjutnya, karena para pakar sosiologi itu tidak menunjukkan indikator-indikator khusus untuk mengoperasionalkan variabel Manajemen Warteg, maka Kandidatlah yang harus menemukan indikator-indikator untuk masing-masing fungsi manajemen yang dikemukakan oleh para pakar itu, agar fungsi-fungsi manajemen yang dijadikan dimensi-dimensi kajian itu bisa dioperasionalkan dan ”langsung nyambung” dengan hal-hal yang menjadi ciri karakteristik obyek atau variabel penelitian, yaitu Manajemen Warteg Mas Gimin.

Penggunaan teori secara mutlak menurut apa adanya teori memang diharuskan bila ilmu yang dipelajari termasuk ilmu-ilmu eksata, dan perkara-perkara yang diteliti pun memang bersifat eksata. Penggunaan teori secara mutlak menurut apa adanya teori untuk penelitian sosial memang agak janggal.

Penggunaan teori yang tidak relevan. Ada pemegang otoritas penyelesaian tugas akhir studi yang memaksa Kandidat untuk memasukan teori-teori yang sebenarnya tidak relevan untuk dijadikan rujukan penyusunan konsep penelitian. Bila teori-teori yang tidak relevan itu dipaksakan juga untuk menjadi rujukan penyusunan konsep penelitian, maka kemungkinan yang terjadi adalah bahwa konsep tersebut bisa nggak nyambung dengan karakteristik obyek atau variabel penelitian. Ada juga pemegang otoritas yang memaksakan Kandidat harus merujuk sekian banyak teori, dan bahkan diwajibkan mengutamakan teori-teori dari penulis asing. Persoalannya bukan terletak pada seberapa banyak teori yang harus dirujuk, dan siapa penulis teori itu, tetapi terletak pada persoalan apakah teori-teori itu cocok untuk dijadikan instrumen pengungkapan karaktersitik obyek atau variabel penelitian. Artinya, teori-teori yang dirujuk hendaknya benar-benar fungsional untuk menyusun konsep penelitian yang sesuai dengan karateristik obyek atau variabel penelitian.

Cara pengelolaan teori yang tidak rasional. Ada pula kebijakan program yang mewajibkan Kandidat membaca sekian puluh buku dan hasil pembacaan buku itu disusun menjadi bagian dari penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan seperti ini dikenal dengan sebutan ”Reading Course”. Kebijakan seperti itu berlaku pada program yang memang sangat menonjolkan jenis penelitian deskriptif. Dengan kebijakan yang demikian itu, fenomena yang dijadikan obyek penelitian dan judul penelitian terkesan didapat dari rujukan teori atau menurut teori. Kebijakan program seperti itu kurang tepat.

Karena pengelolaan teori yang tidak didasarkan pada suatu konsep gagasan yang jelas dan pasti justru dapat mengaburkan fungsi teori dalam penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan seperti itu bisa juga dianggap tidak benar, karena sama saja dengan menyatakan bahwa proses pengajaran sekian banyak teori, termasuk metodologi penelitian, selama sekian tahun masa perkuliahan, dianggap percuma atau dianggap tidak efektif untuk membekali Kandidat. Sebaiknya teori yang dirujuk sudah didasarkan pada konsep gagasan yang jelas dan pasti. Sebagai misal, variabel X adalah Motivasi dan variabel Y adalah Kinerja, maka dengan sendirinya teori-teori yang dirujuk adalah teori motivasi dan teori kinerja. Di luar kedua teori tersebut tidak ada gunanya.

Masalah penerapan fungsi teori
Penerapan Teori Dalam Penyusunan Proposal Penelitian


0 Komentar untuk " Penerapan Teori Dalam Penyusunan Proposal Penelitian "