Teori Hukum Pembangunan



Pokok-pokok pikiran Mochtar terkait dengan fase kedua dari Teori Hukum Pembangunan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Filsafat Pancasila digunakan sebagai landasan fundamental untuk menggantikan posisi teori-teori dari pemikir asing, seperti Northrop, Pound, Lassswell, dan McDougal yang sebelumnya diakui Mochtar sempat mempengaruhi pandangannya. Ia mulai menulis dan menggunakan istilah cita hokum Pancasila, filsafat hukum Pancasila, dan Negara hukum Pancasila.
2. Mochtar tetap setuju bahwa tujuan utama hokum pada umumnya adalah ketertiban dan keadilan. Tujuan keadilan ini dikaitkan Mochtar dengan tujuan hukum dalam suatu Negara hokum Pancasila. Dalam setiap Negara hukum, kekuasaan diatur dan oleh karena itu, harus pula tunduk pada hukum. Tujuan keadilan ini mencakup di dalamnya keadilan social (sila kelima dari Pancasila)
3. Selain itu keadilan sebagai tujuan hukum juga berkaitan dengan kedudukan dan hak yang sama bagi semua orang di dalam hukum. Hal ini dapat dihubungkan dengan sila kerakyatan dalam Pancasila (asas persamaan). Apabila tujuan hukum dalam Negara pancasila pada analisis di atas adalah keadilan social, maka fungsi hukum jadinya adalah untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita dalam kenyataan.
4. Hukum suatu Negara, bagaimanapun baiknya tujuannya, tidak akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat kalau tidak ditegakkan. Penegakkan hukum dilakukan dalam hal terjadi pelanggaran hukum, yaitu ketika hukum yang mengatur tidak berhasil atau terganggu dalam menjalankan fungsinya. Instansi terakhir dalam penegakkan hukum ini dijalankan oleh hakim. Hakim memeriksa perkara dan memberi keputusannya berdasarkan hukum dan demi keadilan.
5. Penegakkan hukum tidak hanya menjadi urusan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, atau advokat) melainkan pada instansi terkait terakhir juga bergantung pada pencari keadilan itu sendiri. Untuk itulah perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa berpekara itu adalah demi menegakkan hukum dan keadilan, tidak semata-mata demi memenangan perkara.
6. Dalam menumbuhkan kesadaran ini, ada peran etika di dalamnya. Etika dan hukum sama-sama merupakan kaidah yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat. Etika mengatur tindakan manusia dari dalam diri manusia tersebut, sedangkan hukum mengatur aspek tindapan lahiriah manusia dalam masyarakat. Khusus bagi aparat penegak hukum, etika ini berhubungan dengan etika profesi, yang dijalankan demi penegakkan undang-undang dan hukum, demi melindungi/membela kepentingan terdakwa atau klien, dan demi memegang kerahasiaan profesi.
7. Mochtar mengakui ada penekanan tahap pertama pembangunan yang diberikan pada upaya pelembagaan (institutionalization) pada usaha-usaha besar pembinaan bangsa (a great nation building effort). Pada tahap pertama memang tekanan diberikan pada pelembagaan usaha-usaha atau proses ini, sehingga orang perorangan mungkin terdesak, namun hal ini tidak berarti individualitas dari orang perorangan tersebut tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, mengingat analisis terakhir terhadap satua-satuan masyarakat itu akan berujung pada individu juga.
8. Persoalan manusia di dalam pembangunan Indonesia tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu kenyataan dan landasan berpikir dan bertindak manusia Indonesia.
9. Pembangunan manusia Indonesia harus dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagi berikut:
a. Selain percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, juga harus percaya pada kemampuan diri sendiri dan pada hari dpan Indonesia yang lebih baik;
b. Sebagai insan politik, harus committed pada sistem politik Negara yang pada titik puncaknya telah menerima pancasila sebagai asas tunggal yang cocok bagi bangsa Indonesia; dan
c. Sadar pada hak dan kewajiban, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai anggota masyarakat, sehingga pengertian individu tidak bisa dilepaskan dari pengertian masyarakat tempat individu itu mendapat kesempatan berkembang sepenuhnya.
10. Manusia Indonesia “masa kini” yang terlibat dalam pembangunan tersebut diupayakan agar memiliki karakter sebagai insan modern, yang mencakup sifat-sifat ideal sebagai berikut:
a. Cermat, sebagai lawan dari kecerobohan dan “asal saja”;
b. Hemat, dalam arti dapat mengatur kekayaannya (termasuk Negara, pikiran, dan waktu) untuk tujuan-tujuan produktif;
c. Rajin, dalam arti suka bekerja untuk memenangkan persaingan;
d. Jujur, sebagai sifat terpuji yang menjadi keharusan untuk mendapatkan kepercayaan sebagai modal dalam berusaha, terlepas dari apakah ada tidaknya anjuran sifat jujur ini dalam agama atau norma-norma etika;
e. Tepat waktu (tepat janji), sebagai sifat untuk menghormati rekan pergaulan dan hal ini juga menjadi modal dasar yang penting dalam usaha dana perdagangan;
f. Tegas tetapi bijaksaja, mengingat tegas penting untuk menghilangkan keragu-raguan pada pihak ketiga dalam berhubungan dengan kita dan bijaksana perlu karena terkait dengan pihak ketiga yang menjadi sasaran ketegasan tersebut;
g. Berani tetapi berhati-hati, dalam arti siap menghadapi resiko demi perubahan dan perbaikan serta berhati-hati agar resiko tersebut dilandasi perhitungan yang matang;
h. Teguh memegang prinsip (prinsipiil), yakni sifat untuk tidak mudah goyah atau tergoda melakukan hal-hal yang kurang baik dan menjerumuskan. (Shidarta, dkk, 2012:124-128)

Mochtar memang belum sempat menuliskan secara detail perkembangan dari fase pertama pemikirannya tentang Teori Hukum Pembangunan ini. Cukup banyak prinsip-prinsip pokok dari fase pertama pemikiran tersbeut yang masih dipertahankan, misalnya, konsep tentang fungsi hukum sebagai law as a tool of social engineering, tetap dipertahankan. (Shidarta, dkk, 2012:129-30)
Perhatian Mochtar terhadap hukum kebiasaan juga masih cukup menonjol. Tampaknya ia melihat hukum kebiasaan ini lebih cocok dengan kondisi Indonesia dalam iklim globalisasi dewasa ini. Mochtar memang tidak lari kea rah penekanan hukum adat gaya lama, tetapi lebih ke konsep hukum adat dalam masyarakat modern Indonesia sebagaimana dapat di baca dalam tulisan-tulisan M.B.Hooker. (Shidarta, dkk, 2012:30)
Dalam pandangan penulis, apa yang disampaikan oleh Mochtar ini selayaknya direspons secara positif oleh para ahli hukum Indonesia. Harus diakui bahwa apa yang dulu dikenal sebagai ciri-ciri hukum adat di Indonesia, yakni kongkret, kontan, dan komunal, seiring dengan perjalanan zaman telah mengalami pergeseran-pergeseran tajam. Saat ini, misalnya, di desa-desa jual beli sepeda motor telah dilakukan dengan sistem kredit. Sikap-sikap individualistic juga terlihat makin menonjol. Artinya, temuan-temuan tokoh-tokoh hukum adat tradisional tersebut perlu dikaji ulang, kendati teori-teori lama ini tetap berguna sebagai hipotesis. (Shidarta, dkk, 2012:30)
Teori Hukum Pembangunan pada fase kedua pemikiran Mochtar dapat dikatakan telah memberi inspirasi bagi para ahli hukum Indonesia agar mau menukik kepada pencarian teori dan filsafat hukum Indonesia yang lebih membumi. Pada fase kedua ini Mochtar telah beranjak dari seorang pemikir teoretikan menuju pemikir filosofikal. Apabila seseorang ilmuwan mengambil dasar-dasar filsafat, maka sesungguhnya ia sedang bergerak menjadi filsuf. Dalam posisi demikian, semua pikirannya tentang berbagai persoalan (hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya) telah dipengaruhi sudut pandang dari dasar-dasar filsafatnya itu. Jadi, untuk mendalami filsafat Pancasila versi Mochtar, sebenarnya tidak cukup hanya menganalisisnya dari sudut filsafat hukum saja, tetapi juga pandangan-pandangan yang menyeluruh tentang aspek kehidupan lainnya. Dari sudut ini, maka filsafat Pancasila (termasuk filsafat hukum Pancasila) ala Mochtar akan berbeda dengan filsafat Pancasila dari tokoh-tokoh hukum lainnya. Dalam konteks ini, Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma Atmadja bias didekati pada fase kedua ini dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat Pancasila, sehinggan hasil analisis kita terhadap Teori Hukum Pembangunan ini bukan tidak mungkin suatu saat akan berkembang menjadi kajian Filsafat Hukum Pembangunan. (Shidarta, dkk, 2012:30-31)

Shidarta, dkk, 2012, Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: HuMa.